Kemenangan Taliban dalam menguasai Afghanistan tidak berlangsung begitu saja. Di balik blitzkrieg atau serangan kilatnya, Taliban dengan cerdik berhasil memanfaatkan momentum di dalam negeri dan situasi global.
Begitu kiranya yang disampaikan wartawan senior Teguh Santosa ketika menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Aceh bertajuk "Konstelasi Global Pasca Kemenangan Taliban di Afghanistan" pada Jumat siang (20/8).
Mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu menguraikan, setidaknya ada empat faktor yang menjadi penentu kemenangan Taliban. Dari empat faktor itu, dua di antaranya adalah faktor domestik dan dua lainnya merupakan situasi di luar negeri.
String of Pearls
Jatuhnya Kabul pada Minggu (15/8) ke tangan Taliban, dinilai oleh Teguh yang juga pengajar matakuliah politik Asia Timur di FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, sebagai salah satu ekspresi dari rivalitas Amerika Serikat dan Republik Rakyat China. Dalam hal ini, China berusaha mendapatkan pengaruh di kawasan Asia Tengah dan Selatan dengan merangkul negara-negara yang berada di sekitar India yang untuk begitu lama menjadi kekuatan dominan di kawasan.
Upaya ini dilakukan China melalui strategi string of pearls atau untaian permata. Istilah ini merujuk pada manuver China membangun jaringan dengan negara-negara lain dan mengalienasi India.
Sebagai contoh, dosen hubungan internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menggarisbawahi kerjasama China dan Pakistan dalam China-Pakistan Economic Corridor (CPEC), sebagai bagian dari jalur utama proyek Belt and Road Initiatives (BRI).
Afghanistan yang berada di antara China dan Pakistan, menurut Teguh, dengan sendirinya menjadi sangat strategis untuk dirangkul. Dan faktanya, petinggi Taliban bertemu dengan pihak China di akhir bulan Juli lalu.
Fragmentasi Elit
Teguh juga menyoroti fragmentasi elit di Afghanistan yang diperburuk dengan rapuhnya konsolidasi demokrasi pasca-pemerintahan Hamid Karzai.
Khususnya dalam pilpres di bulan September 2019, hanya 1,2 juta orang dari sekitar 10 juta pemilih yang memberikan suara. Sementara ada 18 calon presiden ketika itu.
Ashraf Ghani yang dikenal sebagai tokoh independen baru berhasil memperoleh kemenangan tipis dari lawan politiknya sejak pilpres 2014, Abdullah Abdullah, di babak kedua. Ashraf Ghani hanya mengantongi 50,6 persen dari 1,2 juta pemilik suara yang memilih.
Adapun Abdullah Abdullah yang dikalahkan Ashraf Ghani di arena pilpres 2019 adalah tokoh Partai Koalisi Nasional yang juga pernah menjabat sebagai wakil presiden di era Hamid Karzai (2009-2014).
Ini bukan kekalahan pertama Abdullah Abdullah. Dalam pilpres lima tahun sebelumnya dia juga dikalahkan Ashraf Ghani dengan kemenangan yang kontroversial. Sebagai kompromi politik ketika itu, Abdullah Abdullah mendapatkan posisi Kepala Eksekutif.
Kepemimpinan Nasional Tidak Berakar
Sosok Ashraf Ghani dinilai tidak memiliki akar pondasi yang kuat di akar rumput dan di kalangan partai-partai politik. Sebelum kembali ke Afghanistan di tahun 2002 untuk menjadi Menteri Keuangan di era Hamid Karzai, Ashraf Ghani adalah dosen di John Hopkins University.
Dia juga disebutkan pernah bekerja untuk Bank Dunia. Latar belakangnya ini membuat banyak kalangan yang menilai dirinya sebagai "agen Amerika", dan tidak heran dia selalu lolos dari lubang jarum di dua pilpres yang diikutinya, 2014 dan 2019.
Di saat bersamaan, harus diakui bahwa eksistensi partai politik di Afghanistan masih memiliki kaitan erat dengan relasi kesukuan. Ashraf Ghani dipandang tidak memiliki hubungan yang erat dengan partai politik sekaligus akar rumput.
"Ketika seseorang tidak dapat dukungan dari parpol, maka ia tidak dapat dukungan dari mayoritas suku di parpol itu. Inilah persoalan Ashraf Ghani," tambah Teguh.
Rencana AS Menarik Pasukan
Keputusan AS untuk menarik pasukan menjadi salah satu kunci keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan. Rencana menarik pasukan dari Afghanistan merupakan salah satu janji politik Joe Biden dalam masa kampanye pilpres yang lalu. Dari perspektif ini Teguh mengatakan, penarikan mundur pasukan AS itu bukan sebuah kekalahan.
"Seharusnya perang melawan Al Qaeda sudah selesai setelah Osama bin Laden tewas di era pemerintahan Barack Obama," kata Teguh.
Apa yang terjadi di Afghanistan setelah AS menarik diri adalah urusan domestik Afghanistan. Ketika Taliban semakin intensif menekan pemerintahan Ashraf Ghani, AS memutuskan tetap pada rencana mereka meninggalkan negeri yang sudah mereka lindungi selama 20 tahun itu.
Keputusan AS inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Taliban.