Menurut Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, Jakarta sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh kota-kota yang menghadapi ancaman penurunan permukaan tanah, yakni tanggulisasi.
Namun itu saja tidak cukup. Langkah selanjutnya adalah menghentikan eksplotasi equifer dengan cara mencari sumber air permukaan yang dapat menjadi alternatif, baik dari sungai, danau atau waduk, resistensi, rain water harvesting, juga water recycling.
Dia mencontohkan beberapa kota besar di dunia yang pernah menghadapi persoalan serupa. Misalnya Tokyo dan Shanghai. Indonesia, sebutnya, tinggal mengikuti.
“Sekarang mereka sudah dalam tahap success story. Ramuan sudah ada, kita tinggal copy paste,” ujarnya.
Heri Andreas mengapresiasi tanggulisasi di Jakarta yang dimulai setelah banjir rob besar di tahun 2007. Tetapi itu tidak cukup, harus dilengkapi dengan pipanisasi air untuk menggantikan aquifer yang dieksploitasi.
“Di kota-kota besar itu inilah yang terjadi. Harusnya juga Jakarta dan Semarang dapat melakukan hal yang sama,” kata dia lagi.
“Di kita (Indonesia) penelitinya masih ribut, pengambil kebijakan masih ribut,” sambungnya.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pipanisasi?
Dari pengalaman kota-kota yang berhasil, sekitar 10 sampai 15 tahun.
Menurut studi yang dilakukannya, sekitar 14 persen wilayah Jakarta sudah berada di bawah permukaan laut. Ini angka yang moderat. Studi lain yang dia ragukan hasilnya mengatakan sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.
“Selama ini alhamdulillah, belum ada hujan ekstrem di Jakarta Utara… Sekarang itu kekuatan doa saja, tidak terjadi air yang tumpah karena ada tanggul. Harus hati-hati,” ujarnya.
Hal menarik lain yang disinggung Heri Andreas terkait dengan pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur.
Dari laporan Bappenas yang dibacanya, urusan kebencanaan, secara khusus potensi Jakarta tenggelam, bukan menjadi isu utama. Bahkan, hanya menjadi bagian dari sub isu.
Isu utama yang dikedepankan pemerintah dalam pemindahan ibukota negara adalah persoalan kepadatan penduduk, urusan pemerataan pembangunan ekonomi, dan urbanisasi.
“Urusan kebencanaan ditaruh di alasan paling bawah. Saya setuju. Kalau isu kebencanaan jadi alasan utama tidak terlalu relevan. Karena bisa ditangani lebih murah,” sambungnya.
Dari sisi pembiayaan, sebutnya, water management lebih murah dari tanggulisasi. Sementara tanggulisasi lebih murah dari pemindahan ibukota negara.
Jadi, sudah benar bagi pemerintah tidak menggunakan isu ekologi sebagai alasan utama memindahkan ibukota negara.
“Akan banyak yang men-challenge (menantang),” demikian Heri Andreas.